Sunday, July 26, 2009

globalisasi dan nasionalisme

  • Globalisasi adalah suatu proses tatanan masyarakat yang mendunia dan tidak mengenal batas wilayah.

  • Globalisasi pada hakikatnya adalah suatu proses dari gagasan yang dimunculkan, kemudian ditawarkan untuk diikuti oleh bangsa lain yang akhirnya sampai pada suatu titik kesepakatan bersama dan menjadi pedoman bersama bagi bangsa- bangsa di seluruh dunia.

Sebagai proses, globalisasi berlangsung melalui dua dimensi dalam interaksi antar bangsa, yaitu dimensi ruang dan waktu. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi pada skala dunia. Globalisasi berlangsung di semua bidang kehidupan seperti bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan dan lain- lain. Teknologi informasi dan komunikasi adalah faktor pendukung utama dalam globalisasi. Dewasa ini, perkembangan teknologi begitu cepat sehingga segala informasi dengan berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas ke seluruh dunia.Oleh karena itu globalisasi tidak dapat kita hindari kehadirannya.

Kehadiran globalisasi tentunya membawa pengaruh bagi kehidupan suatu negara termasuk Indonesia. Pengaruh tersebut meliputi dua sisi yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh globalisasi di berbagai bidang kehidupan seperti kehidupan politik, ekonomi, ideologi, sosial budaya dan lain- lain akan mempengaruhi nilai- nilai nasionalisme terhadap bangsa.

  • Pengaruh positif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

    1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.

    2. Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.

    3. Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.

  • Pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme

    1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang

    2. Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.

    3. Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.

    4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.

    5. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.

Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan dan kesatuan bangsa.

  • Pengaruh Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda

Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?

Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.

  • Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi Terhadap Nilai Nasionalisme

Langkah- langkah untuk mengantisipasi dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu :

  1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk dalam negeri.

  2. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.

  3. Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.

  4. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar- benarnya dan seadil- adilnya.

  5. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.

Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme terhadap bangsa. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa.

wikimu.com

nasionalisme ditinjau dari akarnya

Kekhawatiran akan merosotnya nasionalisme dan terjadinya disintegrasi nasional merebak di mana-mana akhir-akhir ini. Hal ini, antara lain, juga tercermin dalam simposium berjudul “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani” yang diselenggarakan oleh Komisi Ilmu-ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Selasa, 8 Agustus 2006, di mana penulis juga menyajikan makalah.

Di tengah wacana mengenai nasionalisme yang pada umumnya dimulai dari tengah, yakni langsung membicarakannya sebagai fenomena masyarakat modern yang dikaitkan dengan fenomena negara, penulis coba mengangkat isu yang masih kurang dibicarakan orang, yakni membicarakannya dalam konteks kondisi-kondisi dasar yang di dalamnya dibangun bangsa (nation), kebangsaan (nasionalitas), dan rasa kebangsaan (nasionalisme) Indonesia. Kondisi dasar yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suku bangsa.

Membicarakan suku bangsa sebagai kondisi dasar berarti menempatkan konsep-konsep bangsa, negara, dan nasionalisme secara posteriori. Dengan memahami suku bangsa sebagai kondisi dasar, diharapkan pemahaman kita tentang bangsa, kebangsaan, dan nasionalisme akan menjadi lebih sistematik dan jernih.

Corak kebangsaan dan nasionalisme sedikit banyak ditentukan oleh kondisi dasar tersebut, meskipun dalam perjalanan zaman niscaya ada distorsi-distorsi yang dapat mengubah sosok maupun muatan nasionalisme itu. Selanjutnya, dengan menempatkan negara dalam konteks ini, maka negara dipandang sebagai bagian dari wilayah analisis yang lebih luas, yakni sebagai external agent yang saling memengaruhi dengan kondisi-kondisi lokal.

Karena titik tolak pembicaraan ini adalah dari perspektif tradisional suku bangsa, suatu kesatuan sosial yang hidup di suatu teritorial tertentu, dan yang memiliki suatu kebudayaan, maka pergeseran konsep ini menjadi konsep kelompok etnik, sebagai konsekuensi dari proses menjadi kompleks masyarakat, menjadi penting dibicarakan.

Para ahli antropologi sependapat bahwa suku bangsa adalah landasan bagi terbentuknya bangsa. IM Lewis (1985: 358), misalnya, mengatakan bahwa “istilah bangsa (nation) adalah satuan kebudayaan tidak perlu membedakan antara suku bangsa dan bangsa karena perbedaannya hanya dalam ukuran, bukan komposisi struktural atau fungsinya segmen suku bangsa adalah bagian dari segmen bangsa yang lebih besar, meski berbeda ukuran namun ciri-cirinya sama”.
Meski pernyataan ini menuai banyak kritik, khususnya terkait dengan isu “homogenitas” ini, jelas bahwa para antropolog sangat peduli bahwa suatu konsep sosial budaya harus memiliki dasar empirik dalam kenyataan, bukan konsep yang dibangun di awang- awang. Konsep bangsa tentulah memiliki akar empirik, yakni dari suku bangsa.

Rasa kebangsaan

Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, adalah dimensi sensoris meminjam istilah Benedict Anderson (1991[1983]) Imagined Communities merupakan konsep antropologi yang tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik.

Dimensi sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar bagi membicarakan rasa kebangsaan (nasionalisme) itu.
Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi. Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah.

Perhatian antropologi terhadap nasionalisme menempuh jalur yang berbeda dari disiplin-disiplin tersebut yang menempatkan negara sebagai titik awal pembahasan. Sejalan dengan tradisinya, antropologi menempatkan nasionalisme bersamaan dengan negara karena kesetiaan, komitmen, dan rasa memiliki negara tidak hanya bersifat instrumental, yakni keterikatan oleh prinsip politik melainkan juga bersifat sensorik yang berisikan sentimen-sentimen, emosi-emosi, dan perasaan-perasaan.

Dalam dimensi ini, bangsa, kebangsaan, dan rasa kebangsaan menjadi suatu yang “imagined” (meminjam istilah Benedict Anderson), yang berarti “orang- orang yang mendefinisikan diri mereka sebagai warga suatu bangsa, meski tidak pernah saling mengenal, bertemu, atau bahkan mendengar. Namun, dalam pikiran mereka hidup suatu image mengenai kesatuan bersama. Itulah sebabnya ada warga negara yang mau mengorbankan raga serta jiwanya demi membela bangsa dan negara.

Nasionalisme baru

Tak seorang pun menyangkal bahwa bangsa Indonesia tersusun dari aneka ragam suku bangsa. Jelas bahwa tidak hanya suku bangsa yang beraneka ragam, melainkan juga ras, agama, dan golongan sosial-ekonomi.

Belum lagi fakta bahwa penduduk Indonesia yang jumlahnya kira-kira 250 juta itu hidup tersebar di kepulauan yang paling luas di dunia. Maka, keanekaragaman adalah kondisi dasar bangsa dan negara kita. Bilamana kita hendak membicarakan nasionalisme Indonesia, maka isu keanekaragaman itu patut menjadi landasan pertama pemahaman kita.
Nasionalisme kita adalah suatu konstruksi yang dibangun dan dipelihara posteriori. Sejarah perjuangan bangsa penuh heroik dalam mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah salah satu bagian konstruksi terpenting sehingga selama 60 tahun bagian ini menjadi perekat integrasi bangsa.

Sebagai suatu konstruksi posteriori, maka nasionalisme harus dijaga, dipelihara, dan dijamin mampu menghadapi perubahan zaman. Selain itu, nasion sebagai suatu yang “imagined” adalah entitas abstrak yang berisikan bayangan-bayangan, cita-cita, dan harapan-harapan bahwa nasion akan tumbuh makin kuat dan mampu memberikan perlindungan, kenyamanan, dan kesejahteraan hidup. Selama 60 tahun imajinasi itu hidup dan terpelihara, rakyat terus menggantungkan harapan bahwa suatu waktu kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan itu akan terwujud.

Namun, pertanyaan besar adalah seberapa lama dan kuat harapan-harapan itu bertahan? Bagaimanapun, harapan-harapan itu ingin disaksikan dalam wujudnya yang nyata oleh warga bangsa kita.

Apabila nasion adalah suatu yang “imagined”, maka nasionalisme adalah suatu ideologi yang menyelimuti imajinasi itu. Sebagaimana halnya imajinasi itu sendiri, maka nasionalisme pun akan mengalami kemerosotan apabila distorsi yang disebabkan oleh faktor-faktor lain dalam negara-bangsa ini semakin meningkat.

Secara internal kita berhadapan dengan fenomena meningkatnya kemiskinan, korupsi, konflik-konflik kepentingan partai dan golongan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, jurang generasi, dan banyak lagi; secara eksternal kita menghadapi fenomena global, seperti liberalisasi ekonomi, memudarnya ideologi, dan meningkatnya komunikasi lintas batas negara dan kebudayaan.

Tantangan internal dan eksternal tersebut niscaya memengaruhi kadar dan muatan nasionalisme kita. Nasionalisme kita hanya akan dapat dijaga dan dipelihara apabila kita secara mantap dan konsisten berupaya keras untuk meminimalisasi kalau tak mungkin menghilangkan fenomena internal di atas sehingga cukup kuat berkontestasi dengan bangsa-bangsa lain.
Barangkali ini adalah upaya yang jauh lebih keras dan berat dibandingkan bangsa-bangsa lain karena Indonesia adalah negeri majemuk terbesar di dunia. Sebagai bangsa majemuk terbesar, kita juga paling rentan perpecahan dan disintegrasi. Itulah sebabnya kita perlu memahami dan menyadari kondisi-kondisi dasar bangsa kita, antara lain, suku bangsa dan kesukubangsaan, sebelum kita berbicara tentang isu-isu lain, seperti nasionalisme sebagai prinsip politik.

Achmad Fedyani Saifuddin ( himpsi jaya.org )

Nasionalisme Pemuda Pra dan Pasca Reformasi

 Tujuh-puluh-satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928,
Sumpah Pemuda dicetuskan di Jakarta oleh pemuda-pemudi dari beraneka ragam
suku, agama, budaya, dan daerah di Indonesia. Di dalam situasi perjuangan
kedaerahan dan kesukuan menghadapi kolonialisme, Kongres II Pemuda saat itu
berhasil mendeklarasikan suatu tekad bersama, berupa sebuah sumpah. Yaitu:
Satu Nusa (Tanah Air Indonesia), Satu Bangsa (Bangsa Indonesia), dan Satu
Bahasa (Bahasa Indonesia).

Setelah itu, berbagai perjuangan telah dilakukan untuk mewujudkan sumpah
tersebut. Bahkan, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 perjuangan masih terus
berlangsung dengan maksud persatuan dan kesatuan bangsa bisa benar-benar
terwujud. Patut diakui bahwa persatuan dan kesatuan merupakan faktor yang
sangat penting dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa, dan sangat
relevan untuk diperjuangkan sepanjang masa. Perwujudan nasionalisme itu
sendiri tidak terbatas pada perjuangan fisik dengan mengangkat senjata
mengusir penjajah. Pada hakekatnya pergerakan pemuda dalam bentuk aksi
demonstrasi, atau tindakan-tindakan spektakuler untuk membela keadilan dan
demokrasi juga memerlukan persatuan dan kesatuan, tanpa memandang latar
belakang suku, agama, dan ras.

Berkaitan dengan itu, pada Tahun 1970-an dua kekuatan organisasi pemuda
lahir di tengah-tengah suasana bangsa yang mementingkan loyalitas
primordialnya masing-masing dan terkotak-kotak ke dalam garis-garis partai.
Kedua organisasi pemuda tersebut ialah; Kelompok Cipayung, berdiri pada
tanggal 22 Januari 1972, dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),
berdiri pada tanggal 23 Juli 1973.

Kelompok Cipayung, yang terdiri dari; GMKI, GMNI, HMI, dan PMKRI (PMII
ikut bergabung setahun kemudian), pada awal berdirinya mendeklarasikan
suatu cita-cita bersama. Yaitu mewujudkan: Indonesia yang kuat bersatu,
Indonesia yang cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan adil,
Indonesia yang menjunjung tinggi martabat manusia dan wilayah hukum, serta
Indonesia yang bebas dari ketakutan dan penindasan. Sayangnya, forum
Kelompok Cipayung ini ternyata belum bisa mengakomodasikan semua
organisasi-organisasi pemuda yang lain, seperti organisasi-organisasi
mahasiswa intra-kampus.

Tidak jauh berbeda dengan motivasi berdirinya Kelompok Cipayung, awalnya
KNPI dibentuk dengan maksud menyatukan derap langkah seluruh potensi pemuda
Indonesia di dalam suatu wadah perjuangan bersama. Melalui KNPI, pemuda
diharapkan ikut berpartisipasi aktif dan positif dalam proses pembangunan
yang telah dicanangkan oleh Orde Baru secara berencana dan bertahap. Namun
banyak kalangan menilai bahwa KNPI kian lama kian berubah menjadi wadah
untuk memudahkan kontrol oleh kekuasaan. KNPI dianggap sekedar memenuhi
kepentingan dan legitimasi kekuasaan.

Nasionalisme pemuda biasanya muncul di saat-saat bangsa dan negara sedang
mengalami persoalan yang berat. Pertama, sebagai reaksi terhadap
kolonialisme. Kedua, muncul di saat suasana kehidupan bangsa mengalami
disintegrasi akibat mementingkan loyalitas primordialisme eksklusif.
Ketiga, muncul di saat sebuah sistem kekuasaan penuh dengan ketidakadilan
dan cenderung korup.

Pada Bulan Mei 1998 lalu nasionalisme pemuda sempat menguat ketika
berlangsung aksi demonstrasi besar-besaran menuntut perubahan, dan mendesak
Soeharto mundur dari jabatan Presiden. Meskipun kekuatan mahasiswa saat itu
tidak sempat terwadahi dalam sebuah organisasi tertentu akan tetapi hampir
semua elemen mahasiswa di seluruh Indonesia terlibat dalam pergerakan
menuntut reformasi.

Sadar akan siapa 'musuh' bersama yang sebenarnya, membuat sikap yang
mencerminkan primordialisme di kalangan mahasiswa hilang seketika. Penulis
masih ingat waktu itu pernyataan bersama rekan-rekan mahasiswa di
tengah-tengah semaraknya aksi demonstrasi menuntut reformasi. Bahwa musuh
rakyat dan mahasiswa bukanlah agama tertentu atau etnis tertentu atau suku
tertentu. Tetapi musuh kita adalah kezaliman.

Mahasiswa 1998 mempunyai visi yang sama, menuntut diadakannya suatu
perubahan yang bersifat struktural terhadap sistem yang dibangun oleh rezim
Orde Baru. Sistem yang cenderung hanya menguntungkan beberapa gelintir
orang, dan penuh dengan praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme), serta seringkali mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan
demokrasi. Untuk merombak sistem inilah diperlukan persatuan dan kesatuan
di kalangan mahasiswa.

Namun setelah berhasil mendesak Soeharto mundur, kekuatan pemuda tidak lagi
menunjukkan kekompakan. Seolah-olah perjuangan bersama telah selesai.
Pergerakan mahasiswa akhirnya mengalami disorientasi, berjalan
sendiri-sendiri dan bersifat lokal dengan visi yang berbeda. Beberapa hari
setelah Soeharto "lengser", terdapat perbedaan pandangan di kalangan
mahasiswa menyangkut status pemerintahan Habibie dan tuntutan diadakannya
Sidang Istimewa MPR untuk membentuk pemerintahan transisi.

Memang sempat ada upaya membangun kembali gerakan mahasiswa yang solid
ketika memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1998. Misalnya, waktu
itu, sekitar 10 ribu mahasiswa, buruh dan masyarakat umum turun ke jalan
bergabung dalam kesatuan Aksi Rakyat Bersatu (AKRAB), sebuah aliansi taktis
berbagai elemen mahasiswa prodemokrasi. Aksi ini diharapkan menjadi titik
awal gagasan penyatuan kembali seluruh gerakan mahasiswa, seperti FORKOT
(Forum Kota), FAMRED (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi),
KOMRAD (Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi), FORBES (Forum
Bersama), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se-Jakarta), KB-UI
(Keluarga Besar UI), KOBAR (Komite Buruh untuk Aksi Reformasi) dan GRPR
(Gerakan Rakyat Pro Reformasi). Namun, ternyata tidak semua elemen
mahasiswa mau bergabung dengan AKRAB ini, di antaranya Kelompok Cipayung
dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Lagi pula, gerakan
AKRAB hanya sebatas kota Jakarta dan sekitarnya. AKRAB belum melibatkan
elemen pemuda dari seluruh Indonesia.

Sulit memang menyatukan kembali kekuatan pemuda seperti halnya pada tanggal
28 Oktober 1928, atau paling tidak seperti dalam aksi demonstrasi mendesak
Soeharto mundur. Padahal, nasionalisme pemuda masih tetap diperlukan dalam
menghadapi berbagai persoalan bangsa akhir-akhir ini. Agenda reformasi
belum selesai. Semangat Sumpah Pemuda masih sangat diperlukan dalam
langkah-langkah reformasi selanjutnya. Persoalan bangsa bukan lagi hanya
menyangkut kebobrokan sebuah sistem pemerintahan.

Persoalan keutuhan bangsa juga merupakan tantangan yang harus
diperhitungkan oleh para pemuda pada masa-masa krisis ini. Kita tidak bisa
menutup mata terhadap gejala disintegrasi yang muncul sebagai akibat
akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan sistem pemerintahan Orde Baru.
Misalnya; kasus Aceh, Irian Jaya, Timor-Timur, termasuk kasus-kasus
kerusuhan yang berbau SARA. Di saat-saat seperti itulah kebersamaan pemuda
di seluruh Tanah Air sangat dibutuhkan. Seharusnya seluruh elemen pemuda
mengambil sikap bersama ketika pemerintahan Habibie menawarkan opsi kepada
rakyat Timor Timur.

Pemuda sebagai pelopor reformasi diharapkan tidak lagi terjebak dalam
perjuangan sempit untuk kepentingan kelompok maupun golongannya dalam
menyikapi persoalan bangsa. Sudah sepatutnya organisasi-organisasi pemuda
di Indonesia lebih mengedepankan dimensi keindonesiaan di dalam realitas
bangsa yang majemuk. Sehingga kekuatan pemuda benar-benar dapat memainkan
peranan strategisnya secara optimal di dalam proses penguatan persatuan dan
kesatuan bangsa, disamping mengawasi jalannya agenda reformasi. Kehadiran
sebuah forum yang bisa mengakomodasi potensi seluruh pemuda, mulai dari
Sabang sampai Merauke, sangat dinantikan guna memikirkan keutuhan bangsa
ini secara bersama-sama. Augustinus Simanjuntak, S.H (mailarchieve.com)