Sunday, July 26, 2009

Nasionalisme Pemuda Pra dan Pasca Reformasi

 Tujuh-puluh-satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 1928,
Sumpah Pemuda dicetuskan di Jakarta oleh pemuda-pemudi dari beraneka ragam
suku, agama, budaya, dan daerah di Indonesia. Di dalam situasi perjuangan
kedaerahan dan kesukuan menghadapi kolonialisme, Kongres II Pemuda saat itu
berhasil mendeklarasikan suatu tekad bersama, berupa sebuah sumpah. Yaitu:
Satu Nusa (Tanah Air Indonesia), Satu Bangsa (Bangsa Indonesia), dan Satu
Bahasa (Bahasa Indonesia).

Setelah itu, berbagai perjuangan telah dilakukan untuk mewujudkan sumpah
tersebut. Bahkan, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 perjuangan masih terus
berlangsung dengan maksud persatuan dan kesatuan bangsa bisa benar-benar
terwujud. Patut diakui bahwa persatuan dan kesatuan merupakan faktor yang
sangat penting dalam menghadapi berbagai persoalan bangsa, dan sangat
relevan untuk diperjuangkan sepanjang masa. Perwujudan nasionalisme itu
sendiri tidak terbatas pada perjuangan fisik dengan mengangkat senjata
mengusir penjajah. Pada hakekatnya pergerakan pemuda dalam bentuk aksi
demonstrasi, atau tindakan-tindakan spektakuler untuk membela keadilan dan
demokrasi juga memerlukan persatuan dan kesatuan, tanpa memandang latar
belakang suku, agama, dan ras.

Berkaitan dengan itu, pada Tahun 1970-an dua kekuatan organisasi pemuda
lahir di tengah-tengah suasana bangsa yang mementingkan loyalitas
primordialnya masing-masing dan terkotak-kotak ke dalam garis-garis partai.
Kedua organisasi pemuda tersebut ialah; Kelompok Cipayung, berdiri pada
tanggal 22 Januari 1972, dan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI),
berdiri pada tanggal 23 Juli 1973.

Kelompok Cipayung, yang terdiri dari; GMKI, GMNI, HMI, dan PMKRI (PMII
ikut bergabung setahun kemudian), pada awal berdirinya mendeklarasikan
suatu cita-cita bersama. Yaitu mewujudkan: Indonesia yang kuat bersatu,
Indonesia yang cerdas dan modern, Indonesia yang demokratis dan adil,
Indonesia yang menjunjung tinggi martabat manusia dan wilayah hukum, serta
Indonesia yang bebas dari ketakutan dan penindasan. Sayangnya, forum
Kelompok Cipayung ini ternyata belum bisa mengakomodasikan semua
organisasi-organisasi pemuda yang lain, seperti organisasi-organisasi
mahasiswa intra-kampus.

Tidak jauh berbeda dengan motivasi berdirinya Kelompok Cipayung, awalnya
KNPI dibentuk dengan maksud menyatukan derap langkah seluruh potensi pemuda
Indonesia di dalam suatu wadah perjuangan bersama. Melalui KNPI, pemuda
diharapkan ikut berpartisipasi aktif dan positif dalam proses pembangunan
yang telah dicanangkan oleh Orde Baru secara berencana dan bertahap. Namun
banyak kalangan menilai bahwa KNPI kian lama kian berubah menjadi wadah
untuk memudahkan kontrol oleh kekuasaan. KNPI dianggap sekedar memenuhi
kepentingan dan legitimasi kekuasaan.

Nasionalisme pemuda biasanya muncul di saat-saat bangsa dan negara sedang
mengalami persoalan yang berat. Pertama, sebagai reaksi terhadap
kolonialisme. Kedua, muncul di saat suasana kehidupan bangsa mengalami
disintegrasi akibat mementingkan loyalitas primordialisme eksklusif.
Ketiga, muncul di saat sebuah sistem kekuasaan penuh dengan ketidakadilan
dan cenderung korup.

Pada Bulan Mei 1998 lalu nasionalisme pemuda sempat menguat ketika
berlangsung aksi demonstrasi besar-besaran menuntut perubahan, dan mendesak
Soeharto mundur dari jabatan Presiden. Meskipun kekuatan mahasiswa saat itu
tidak sempat terwadahi dalam sebuah organisasi tertentu akan tetapi hampir
semua elemen mahasiswa di seluruh Indonesia terlibat dalam pergerakan
menuntut reformasi.

Sadar akan siapa 'musuh' bersama yang sebenarnya, membuat sikap yang
mencerminkan primordialisme di kalangan mahasiswa hilang seketika. Penulis
masih ingat waktu itu pernyataan bersama rekan-rekan mahasiswa di
tengah-tengah semaraknya aksi demonstrasi menuntut reformasi. Bahwa musuh
rakyat dan mahasiswa bukanlah agama tertentu atau etnis tertentu atau suku
tertentu. Tetapi musuh kita adalah kezaliman.

Mahasiswa 1998 mempunyai visi yang sama, menuntut diadakannya suatu
perubahan yang bersifat struktural terhadap sistem yang dibangun oleh rezim
Orde Baru. Sistem yang cenderung hanya menguntungkan beberapa gelintir
orang, dan penuh dengan praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme), serta seringkali mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan
demokrasi. Untuk merombak sistem inilah diperlukan persatuan dan kesatuan
di kalangan mahasiswa.

Namun setelah berhasil mendesak Soeharto mundur, kekuatan pemuda tidak lagi
menunjukkan kekompakan. Seolah-olah perjuangan bersama telah selesai.
Pergerakan mahasiswa akhirnya mengalami disorientasi, berjalan
sendiri-sendiri dan bersifat lokal dengan visi yang berbeda. Beberapa hari
setelah Soeharto "lengser", terdapat perbedaan pandangan di kalangan
mahasiswa menyangkut status pemerintahan Habibie dan tuntutan diadakannya
Sidang Istimewa MPR untuk membentuk pemerintahan transisi.

Memang sempat ada upaya membangun kembali gerakan mahasiswa yang solid
ketika memperingati Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 1998. Misalnya, waktu
itu, sekitar 10 ribu mahasiswa, buruh dan masyarakat umum turun ke jalan
bergabung dalam kesatuan Aksi Rakyat Bersatu (AKRAB), sebuah aliansi taktis
berbagai elemen mahasiswa prodemokrasi. Aksi ini diharapkan menjadi titik
awal gagasan penyatuan kembali seluruh gerakan mahasiswa, seperti FORKOT
(Forum Kota), FAMRED (Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi dan Demokrasi),
KOMRAD (Komite Mahasiswa dan Rakyat untuk Demokrasi), FORBES (Forum
Bersama), FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Se-Jakarta), KB-UI
(Keluarga Besar UI), KOBAR (Komite Buruh untuk Aksi Reformasi) dan GRPR
(Gerakan Rakyat Pro Reformasi). Namun, ternyata tidak semua elemen
mahasiswa mau bergabung dengan AKRAB ini, di antaranya Kelompok Cipayung
dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Lagi pula, gerakan
AKRAB hanya sebatas kota Jakarta dan sekitarnya. AKRAB belum melibatkan
elemen pemuda dari seluruh Indonesia.

Sulit memang menyatukan kembali kekuatan pemuda seperti halnya pada tanggal
28 Oktober 1928, atau paling tidak seperti dalam aksi demonstrasi mendesak
Soeharto mundur. Padahal, nasionalisme pemuda masih tetap diperlukan dalam
menghadapi berbagai persoalan bangsa akhir-akhir ini. Agenda reformasi
belum selesai. Semangat Sumpah Pemuda masih sangat diperlukan dalam
langkah-langkah reformasi selanjutnya. Persoalan bangsa bukan lagi hanya
menyangkut kebobrokan sebuah sistem pemerintahan.

Persoalan keutuhan bangsa juga merupakan tantangan yang harus
diperhitungkan oleh para pemuda pada masa-masa krisis ini. Kita tidak bisa
menutup mata terhadap gejala disintegrasi yang muncul sebagai akibat
akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan sistem pemerintahan Orde Baru.
Misalnya; kasus Aceh, Irian Jaya, Timor-Timur, termasuk kasus-kasus
kerusuhan yang berbau SARA. Di saat-saat seperti itulah kebersamaan pemuda
di seluruh Tanah Air sangat dibutuhkan. Seharusnya seluruh elemen pemuda
mengambil sikap bersama ketika pemerintahan Habibie menawarkan opsi kepada
rakyat Timor Timur.

Pemuda sebagai pelopor reformasi diharapkan tidak lagi terjebak dalam
perjuangan sempit untuk kepentingan kelompok maupun golongannya dalam
menyikapi persoalan bangsa. Sudah sepatutnya organisasi-organisasi pemuda
di Indonesia lebih mengedepankan dimensi keindonesiaan di dalam realitas
bangsa yang majemuk. Sehingga kekuatan pemuda benar-benar dapat memainkan
peranan strategisnya secara optimal di dalam proses penguatan persatuan dan
kesatuan bangsa, disamping mengawasi jalannya agenda reformasi. Kehadiran
sebuah forum yang bisa mengakomodasi potensi seluruh pemuda, mulai dari
Sabang sampai Merauke, sangat dinantikan guna memikirkan keutuhan bangsa
ini secara bersama-sama. Augustinus Simanjuntak, S.H (mailarchieve.com)

No comments:

Post a Comment